Sejarah mencatat, bangsa Indonesia sudah mengalami beberapa periode pemerintah setelah kemerdekaan sampai saat ini. Periode pemerintahan itu dibagi menjadi tiga yakni Orde Lama, Orde Baru dan Reformasi.
Orde
lama Terdiri dari Demokrasi Presidensil (17 Agustus 1945 - 14 November 1945), Parelementer
(1945 – 1949), Demokrasi Liberal (1950-1959) dan Demokrasi Terpimpin
(1960-1966)
Orde
Baru (Sistem Presidensil Demokrasi Pancasila dengan UUD
1945 sebagai konstitusi; 1966 - 1998)
Era
Reformasi (1998 – Sekarang)
Pada Kesempatan
kali ini kita akan belajar Periode Orde Lama sistem pemerintahan Parlementer (1945
– 1949) dan liberal (1950 – 1959). Untuk part demokrasi terpimpin akan kita bahas minggu depan.
A. Orde Lama
1. Sistem Presidensil
A. Orde Lama
1. Sistem Presidensil
Pada awal masa
Orde Lama sistem pemerintahan yang digunakan adalah sistem presidensial. Dikutip dari buku Sistem Pemerintahan Presidensial Indonesia dari Soekarno ke
Jokowi (2018) karya Diana Fawzia Dkk, pada sistem ini hubungan kekuasaan antara
presiden dan legislatif adalah hubungan yang saling kontrol atau checks and
balances.
Fungsi
saling kontrol ini terletak pada perimbangan kekuasaan dalam lahirnya
perundang-undangan dan kebijakan negara. Kemudian pada pengawasan anggaran dan
jalannya pemerintahan. Perubaham sistem presidensial Pada masa Orde Lama,
sistem pemerintahan beberapa kali berganti.
Mulai dari
presidental, parlementar, demokrasi liberal hingga demokrasi terpimpin.
Setelah kemerdekaan Indonesia, pada 12 September 1945 dibentuklah pemerintahan pertama di Indonesia, dengan dibentuknya Kabinet Presidensial, yang dipimpin oleh Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Muhammad Hatta.
Pemerintahan Indonesia saat ini berbentuk pemerintahan Sistem Presidensial, dimana menteri pada Kabinet ditunjuk oleh Presiden dan dengan kekuasaan besar di Presiden Sukarno.
Tantangan dari beberapa anggota KNIP, yang dipimpin Sutan Syahrir, terhadap bentuk pemerintahan Presidensial, yang dianggap otoriter.
Menyikapi situasi ini, dikeluarkanlah Maklumat Wakil Presiden tanggal 16 Oktober 1945 dan Maklumat Pemerintah tanggal 14 November 1945, yang memperbolehkan adanya partai politik dan mengganti sistem pemerintahan menjadi Sistem Parlementer, dengan Sutan Syahrir menjadi Perdana Menteri pertama
Situasi ini ditentang oleh kalangan Sosialis di KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat), yang dipimpin oleh Sutan Syahrir. Mereka menganggap bahwa sistem ini mengarah ke autokrasi dan diktatorisme oleh Presiden. Terlebih lagi saat ini ada usulan bahwa Partai Nasional Indonesia hendak dijadikan sebagai partai tunggal.
Akhirnya pada bulan Oktober 1945, kelompok Sosialis ini berhasil menyusun kekuatan dan mendorong dibentuknya Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia (BP-KNIP) untuk merubah sistem pemerintahan menjadi Sistem Parlementer, dengan Perdana Menteri sebagai pemegang kekuasaan kepala pemerintahan, dan menteri dalam kabinet yang ditunjuk oleh parlemen.
Petisi ini meminta KNIP diubah dari badan penasihat menjadi badan legislatif, sambil menunggu pemilihan untuk membentuk parlemen, yang masih tertunda karena ancaman pendudukan kembali Belanda. Untuk tujuan itu, mereka mengumpulkan dukungan sebanyak 50 buah tanda tangan dari 150 anggotanya.
Selanjutnya pada tanggal 7 Oktober 1945, petisi yang dihasilkan diserahkan kepada Presiden Ir. Soekarno. Menanggapi petisi ini, akhirnya dikeluarkanlah Maklumat Wakil Presiden tanggal 16 Oktober 1945 tentang fungsi KNIP dan Maklumat Pemerintah tanggal 14 November 1945 tentnag perubahan sistem presidensil menjadi parlementer.
Setelah kemerdekaan Indonesia, pada 12 September 1945 dibentuklah pemerintahan pertama di Indonesia, dengan dibentuknya Kabinet Presidensial, yang dipimpin oleh Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Muhammad Hatta.
Pemerintahan Indonesia saat ini berbentuk pemerintahan Sistem Presidensial, dimana menteri pada Kabinet ditunjuk oleh Presiden dan dengan kekuasaan besar di Presiden Sukarno.
Tantangan dari beberapa anggota KNIP, yang dipimpin Sutan Syahrir, terhadap bentuk pemerintahan Presidensial, yang dianggap otoriter.
Menyikapi situasi ini, dikeluarkanlah Maklumat Wakil Presiden tanggal 16 Oktober 1945 dan Maklumat Pemerintah tanggal 14 November 1945, yang memperbolehkan adanya partai politik dan mengganti sistem pemerintahan menjadi Sistem Parlementer, dengan Sutan Syahrir menjadi Perdana Menteri pertama
Situasi ini ditentang oleh kalangan Sosialis di KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat), yang dipimpin oleh Sutan Syahrir. Mereka menganggap bahwa sistem ini mengarah ke autokrasi dan diktatorisme oleh Presiden. Terlebih lagi saat ini ada usulan bahwa Partai Nasional Indonesia hendak dijadikan sebagai partai tunggal.
Akhirnya pada bulan Oktober 1945, kelompok Sosialis ini berhasil menyusun kekuatan dan mendorong dibentuknya Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia (BP-KNIP) untuk merubah sistem pemerintahan menjadi Sistem Parlementer, dengan Perdana Menteri sebagai pemegang kekuasaan kepala pemerintahan, dan menteri dalam kabinet yang ditunjuk oleh parlemen.
Petisi ini meminta KNIP diubah dari badan penasihat menjadi badan legislatif, sambil menunggu pemilihan untuk membentuk parlemen, yang masih tertunda karena ancaman pendudukan kembali Belanda. Untuk tujuan itu, mereka mengumpulkan dukungan sebanyak 50 buah tanda tangan dari 150 anggotanya.
Selanjutnya pada tanggal 7 Oktober 1945, petisi yang dihasilkan diserahkan kepada Presiden Ir. Soekarno. Menanggapi petisi ini, akhirnya dikeluarkanlah Maklumat Wakil Presiden tanggal 16 Oktober 1945 tentang fungsi KNIP dan Maklumat Pemerintah tanggal 14 November 1945 tentnag perubahan sistem presidensil menjadi parlementer.
2. Sistem Parlementer (1945 - 1949)
Perdana
Menteri pertama adalah Sutan Sjahrir (14 November 1945 – 3 Juli 1947)
Prestasi Sutan Sjahrir diantaranya adalah mensiasati hasil Perundingan Linggarjati. Pada November 1946,
delegasi Belanda siap berunding dengan delegasi Republik untuk menyelesaikan
sengketa wilayah Indonesia. Dengan segala cara Sjahrir mengupayakan
agar Belanda mau berunding, termasuk dengan cara melobby temen-temennya sewaktu kuliah di Belanda yang sudah menjadi pejabat di Belanda.
Gayung bersambut, Sjahrir akhirnya berhasil mengadain Perundingan Linggarjati. Walaupun hasil perjanjian Linggarjati dinilai merugikan wilayah Indonesia, tapi dengan cerdiknya Sjahrir mengusulkan tambahan satu pasal, yaitu pasal perundingan tingkat PBB jika suatu saat nanti ada perselisihan di kemudian hari. Tanpa pikir panjang, Belanda setuju karena hasil perjanjiannya sangat menguntungkan Belanda.
Namun, Karena hasil perundingan Linggarjati, banyak yang tidak percaya lagi pada kabinet Sjahrir. Setelah itu terjadi perpecahan di kubu Kabinet Syahrir, yaitu terjadi mosi tidak percaya dari Masyumi yang merupakan akibat dari Perundingan Linggarjati. Di dalam Partai Sosialis juga terjadi perpecahan, dimana Syahrir dikenal sebagai Partai Sosialis Kanan dan Amir Sjarifuddin sebagai Partai Sosialis Kiri. Seperti kita ketahui, Partai Sosialis Kiri kemudian bergabung dengan Partai Komunis Indonesia dalam Front Demokrasi Rakyat (FDR).
Gayung bersambut, Sjahrir akhirnya berhasil mengadain Perundingan Linggarjati. Walaupun hasil perjanjian Linggarjati dinilai merugikan wilayah Indonesia, tapi dengan cerdiknya Sjahrir mengusulkan tambahan satu pasal, yaitu pasal perundingan tingkat PBB jika suatu saat nanti ada perselisihan di kemudian hari. Tanpa pikir panjang, Belanda setuju karena hasil perjanjiannya sangat menguntungkan Belanda.
Namun, Karena hasil perundingan Linggarjati, banyak yang tidak percaya lagi pada kabinet Sjahrir. Setelah itu terjadi perpecahan di kubu Kabinet Syahrir, yaitu terjadi mosi tidak percaya dari Masyumi yang merupakan akibat dari Perundingan Linggarjati. Di dalam Partai Sosialis juga terjadi perpecahan, dimana Syahrir dikenal sebagai Partai Sosialis Kanan dan Amir Sjarifuddin sebagai Partai Sosialis Kiri. Seperti kita ketahui, Partai Sosialis Kiri kemudian bergabung dengan Partai Komunis Indonesia dalam Front Demokrasi Rakyat (FDR).
Perdana Menteri kedua adalah Amir
Sjarifuddin (3 Juli 1947 – 29 Januari 1948)
Presiden Soekarno pada
tanggal 30 Juni 1947, telah menunjuk Amir Syarifuddin, Sukiman, A.K Gani dan
setiadjit sebagai formatur untuk membentuk kabinet koalisi, tetapi gagal
membentuk kabinet nasional. Dalam tempo 14 jam, kabinet nasional terbentuk.
Pada tanggal 3 Juli 1947, kabinet baru dibawah pimpinan Amir Syarifuddin dilantik.
Dan kabinet ini bertugas untuk menjawab nota dari Belanda. Hasil dari persetujuan Renville
merupakan tanggungjawab yang berat bagi Komunis, khususnya
Amir sebagai negosiator utama dari Republik Indonesia. Kabinet Amir
Sjarifuddin mengundurkan diri dengan sukarela dan tanpa perlawanan
samasekali, ketika disalahkan atas persetujuan Renville oleh golongan Masyumi dan Nasionalis.
Perdana
Menteri ketiga adalah Moh. Hatta (29 Januari 1948 – 20 Desember 1949)
Kabinet ini dipimpin oleh Moh Hatta. Prestasi terbesanya adalah hasil perundingan KMB dimana Belanda pada akhirnya mengakui kedaulatan Indonesia.
3. Sistem Liberal (1950 - 1959)
3. Sistem Liberal (1950 - 1959)
Pada
era Orde Lama juga menjalankan sistem pemerintahan liberal. Ini berlangsung
pada tahun 1950-1959.
Anda
bisa dengan mudah mengingat dengan akronim ketujuh Perdana Menteri “NaSi WilLi
BuAt Djuan”
No comments:
Post a Comment