Kewaspadaan terhadap politik populis penting karena meskipun strategi ini sering kali menarik dukungan massa dengan janji-janji yang resonan, terdapat risiko jangka panjang yang perlu dipertimbangkan. Berikut analisis berdasarkan contoh dari sepak terjang Gubernur Jawa Barat Kang Dedi Mulyadi(KDM), Mantan Presiden RI Joko Widodo (Jokowi), dan Donald Trump di AS:
Oversimplifikasi Masalah Kompleks
Populisme cenderung mengurangi masalah multidimensional (seperti ekonomi, ketimpangan, atau lingkungan) menjadi narasi "rakyat vs elit". Politisinya cenderung meng-iya-kan harapan public mayoritas tanpa mengurai akar sesungguhnya. Seperti yang dilakukan oleh Trump dengan mengkampanyekan "America First" atau “Make Amerika Great Again” sebagai kebijakan overproud yang kemudian melahirkan kebijakan proteksionis (seperti tarif impor) yang berisiko memicu perang dagang dan mengabaikan kompleksitas globalisasi. Mantan Presiden Jokowi pun merangkak ke posisi puncak dengan memberi harapan pada publik dengan gaya merakyat yang mencitrakan anti feodalisme, menunjukan anti kapitalisme dengan promosi mobil Esemka meskupun tidak jelas wujud akhirnya. Ketika sudah dipuncak pun Ia fokus pada infrastruktur fisik (jalan, tol, bandara) untuk menunjukkan kinerja, tetapi isu seperti deforestasi atau hak masyarakat adat terkadang terabaikan. KDM pun seolah mengikuti jejak model populis sebelumnya yang telah sukses dengan memanfaatkan media sosial. Ia menjadi pejabat yang punya tim produksi konten. Memang yang dilakukan KDM turun langsung ke lapangan adalah sesuatu hal yang dinginkan masyarakat, terutama rakyat kecil. Akan tetapi justru ini menunjukan bahwa kemampuan leadership dengan membentuk sistem pemerintahan yang profesional gagal dilakukan karena sebagai gubernur malah merangkap menjadi Satpol PP, menjadi Tukang Sampah, dan pekerjaan lain yang langsung berhadapan dengan masyarakat.
Pelemahan Institusi Demokrasi
Politik populis sering menggerogoti checks and balances untuk memusatkan kekuasaan. Trump menyerang independensi lembaga hukum (FBI, hakim) dan media. Jokowi dikritik karena melemahkan KPK melalui revisi UU KPK (2019) dan menempatkan loyalis di posisi strategis. KDM dengan turun langsung bisa dimaknai juga bahwa yang dilakukannya mengambil peran DPRD yang semestinya menjadi corong suara rakyat. Di tingkat daerah, gubernur populis mungkin menggunakan anggaran untuk proyek sat-set alih-alih memperkuat tata kelola transparan.
Patronase dan Loyalitas di Atas Kompetensi
Politisi populis cenderung mengutamakan pendukungnya dalam alokasi sumber daya. Trump mengangkat keluarga (Jared Kushner) atau sekutu politik ke posisi kritis meski kurang kompeten. Di Indonesia, praktik bagi-bagi jabatan (seperti reshuffle kabinet atau kepala daerah) untuk menjaga koalisi bisa mengorbankan kualitas kebijakan. Bahkan hingga ada upaya penambahan masa jabatan dengan mengotak-atik undang-undang / konstitusi.
Populisme mungkin memenangkan pemilu, tetapi mengikis partisipasi publik yang substantif. Pada akhirnya polusime akan memunculkan skema kinerja balas budi pada tim sukses dan mengabaikan jabatan pada kompetensi yang sesuai. Hasilnya adalah program pembangunan yang dijalankan lebih mengarah pada legasi dan legitimasi rezim.
Sesungguhnya, populisme tidak selalu buruk. Ia sering muncul sebagai respons terhadap ketidakpuasan terhadap elit yang korup atau tidak responsif (misal: janji Jokowi memberantas oligarki pada 2014). Namun, kewaspadaan diperlukan agar retorika populis tidak menjadi alat untuk mengonsolidasi kekuasaan, mengabaikan proses demokratis, atau menciptakan kebijakan reaktif. Masyarakat perlu kritis memantau:
- Apakah kebijakan populis inklusif atau eksklusif?
- Apakah pemimpin mau dikritik dan diawasi?
- Apakah program populis berkelanjutan secara ekonomi dan ekologis?
Dengan demikian, kewaspadaan bukan berarti penolakan total, tetapi upaya memastikan bahwa politik populis tidak mengorbankan prinsip demokrasi, keadilan, dan keberlanjutan.
Jalan yang ditempuh Dedi Mulyadi melalui politik populis perlu dinilai dengan seksama dan dalam tempo yang panjang karena waktulah yang akan membuktikan apakah mengarah pada substansial pembangunan atau hanya strategi belaka meraih kuasa. Sebagai Gubernur Jawa Barat, ia kerap menggunakan narasi kultural (seperti simbolisme budaya Sunda) untuk membangun citra "pro-rakyat". Namun, isu struktural seperti pengangguran, ketimpangan desa-kota, atau alih fungsi lahan pertanian di Jawa Barat belum terselesaikan secara sistematis dan hal ini yang masih perlu dibuktikan oleh KDM.
"Populisme bisa menjadi alat perubahan jika diimbangi dengan transparansi dan akuntabilitas. Namun, jika dibiarkan tanpa kendali, ia berpotensi menggerogoti fondasi demokrasi dan menciptakan kebijakan reaksioner yang merugikan generasi mendatang"
0 Komentar