Dominannya PKI di tubuh pemerintahan Soekarno membuat banyak pihak kawatir jika Indonesia akan menjadi Negara Komunis. Dekatnya hubungan PKI dan Soekarno semakin kuat sejak munculnya kunforontasi dengan Malaysia tahun 1963 dimana saat itu massa malaysia berdemonstrasi dan memaksa perdana Mentri saat itu Tun Abdul Razak menginjak-injak foto Soekarno dan Burung Garuda. Soekarno yang memiliki harga diri tinggi sangat marah kepada malaysia sehingga memerintahkan gerakan Ganyang Malaysia. Namun kondisi ini kurang mendapat tanggapan positif dari TNI karena merasa kekuatan Tentara Indonesia belum bisa menandingi kekuatan Inggris yang masih menyokong Malaysia. Kondisi ini yang dimanfaatkan PKI untuk semakin dekat dengan Soekarno karena PKI lah yang paling mendukung gerakan Ganyang Malaysia.
Salah satu kuatnya pengaruh Komunis di tubuh pemerintahan Soekarno juga sudah terlihat dari pembubaran paksa Partai Masyumi dan PSI di tahun 1960an. Dua partai ini adalah partai yang sangat menentang sepak terjang PKI di dalam pemerintahan.
Dari tahun 1963,
kepemimpinan PKI makin lama makin berusaha memprovokasi
bentrokan-bentrokan antara aktivis massanya dengan polisi dan militer.
Pemimpin-pemimpin PKI juga menginfiltrasi polisi dan tentara dengan
slogan "kepentingan bersama" polisi dan "rakyat". Pemimpin PKI DN Aidit mengilhami slogan "Untuk Ketentraman Umum Bantu Polisi". Di bulan Agustus 1964,
Aidit menganjurkan semua anggota PKI membersihkan diri dari
"sikap-sikap sektarian" kepada angkatan bersenjata, mengimbau semua
pengarang dan seniman sayap-kiri untuk membuat "massa tentara" subjek
karya-karya mereka.
Di akhir 1964 dan permulaan 1965 ribuan petani bergerak merampas
tanah yang bukan hak mereka atas hasutan PKI. Bentrokan-bentrokan besar
terjadi antara mereka dengan polisi dan para pemilik tanah.
Bentrokan-bentrokan tersebut dipicu oleh propaganda PKI yang
menyatakan bahwa petani berhak atas setiap tanah, tidak peduli tanah
siapapun (milik negara = milik bersama). Kemungkinan besar PKI meniru revolusi Bolsevik di Rusia, di mana di sana rakyat dan partai komunis menyita milik Tsar dan membagi-bagikannya kepada rakyat.
Pada permulaan 1965, para buruh mulai menyita perusahaan-perusahaan karet dan minyak milik Amerika Serikat.
Kepemimpinan PKI menjawab ini dengan memasuki pemerintahan dengan
resmi. Pada waktu yang sama, jenderal-jenderal militer tingkat tinggi
juga menjadi anggota kabinet.
Jenderal-jenderal tersebut masuk kabinet karena jabatannya di militer
oleh Sukarno disamakan dengan setingkat mentri. Hal ini dapat dibuktikan
dengan nama jabatannya (Menpangab, Menpangad, dan lain-lain).
Menteri-menteri PKI tidak hanya duduk di sebelah para petinggi
militer di dalam kabinet Sukarno ini, tetapi mereka terus mendorong
ilusi yang sangat berbahaya bahwa angkatan bersenjata adalah merupakan bagian dari revolusi demokratis "rakyat".
Di tahun 1964 juga PKI melakukan berbagai aksi sepihak yang bermuara pada meng-komuniskan Indonesia. PKI juga berusaha mempengaruhi militer / TNI untuk mendukung penggantian ideologi Pancasila menjadi Komunis. Namun usaha ini gagal karena TNI sudah memiliki kode etik yang disebut SAPTA MARGA sejak 5 Oktober 1951 untuk setia menjaga Ideologi Pancasila.
Usaha nekad PKI memuncak pada gerakan Gerakan 30 September (dalam dokumen pemerintah tertulis Gerakan 30 September/PKI, sering disingkat G30S/PKI), Gestapu (Gerakan September Tiga Puluh), atau juga Gestok (Gerakan Satu Oktober). GErakan 30 September adalah sebuah peristiwa yang terjadi selewat malam pada tanggal 30 September sampai awal bulan selanjutnya (1 Oktober) tahun 1965 ketika tujuh perwira tinggi militer Indonesia beserta beberapa orang yang lain dibunuh dalam suatu usaha kudeta penyingkiran para tokoh-tokoh utama TNI.
Isu Dewan Jenderal
Gerakan 30 September/PKI diawali dengan isu Dewan Jendral yang dibisikan oleh tokoh-tokoh PKI. Pada saat-saat yang genting sekitar bulan September 1965 muncul isu adanya Dewan Jenderal
yang mengungkapkan adanya beberapa petinggi Angkatan Darat yang tidak
puas terhadap Soekarno dan berniat untuk menggulingkannya. Menanggapi
isu ini, Soekarno disebut-sebut memerintahkan pasukan Cakrabirawa untuk
menangkap dan membawa mereka untuk diadili oleh Soekarno.
Dampak dari gerakan Gerakan 30 September/PKI, keadaan ekonomi dan politik negara menjadi kacau hingga memunculkan gerakan Tritura.
TRITURA
Tri Tuntutan Rakyat (atau biasa disingkat Tritura) adalah tiga tuntutan kepada pemerintah yang diserukan para mahasiswa yang tergabung dalam Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI). Selanjutnya diikuti oleh kesatuan-kesatuan aksi yang lainnya seperti Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia (KAPI), Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI), Kesatuan Aksi Buruh Indonesia (KABI), Kesatuan Aksi Sarjana Indonesia (KASI), Kesatuan Aksi Wanita Indonesia (KAWI), dan Kesatuan Aksi Guru Indonesia (KAGI), serta didukung penuh oleh Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Ketika gelombang demonstrasi menuntut pembubaran PKI semakin keras, pemerintah tidak segera mengambil tindakan. Keadaan negara Indonesia sudah sangat parah, baik dari segi ekonomi maupun politik. Harga barang naik sangat tinggi terutama Bahan bakar minyak (BBM). Oleh karenanya, pada tanggal 12 Januari 1966, KAMI dan KAPPI memelopori kesatuan aksi yang tergabung dalam Front Pancasila mendatangi DPR-GR menuntut Tritura. Isi Tritura adalah:
- Pembubaran PKI beserta ormas-ormasnya
- Perombakan kabinet Dwikora
- Turunkan harga pangan
Tuntutan pertama dan kedua sebelumnya sudah pernah diserukan oleh KAP-Gestapu (Kesatuan Aksi Pengganyangan Gerakan 30 September). Sedangkan tuntutan ketiga baru diserukan saat itu. Tuntutan ketiga sangat menyentuh kepentingan orang banyak.
Pada tanggal 21 Februari 1966
Presiden Soekarno mengumumkan reshuffle kabinet. Dalam kabinet itu
duduk para simpatisan PKI. Kenyataan ini menyulut kembali mahasiswa
meningkatkan aksi demonstrasinya. Tanggal 24 Februari 1966 mahasiswa
memboikot pelantikan menteri-menteri baru. Dalam insiden yang terjadi
dengan Resimen Tjakrabirawa, Pasukan Pengawal Presiden Soekarno, seorang mahasiswa Arif Rahman Hakim meninggal. Pada tanggal 25 Februari 1966 KAMI dibubarkan, namun hal itu tidak mengurangi gerakan-gerakan mahasiswa untuk melanjutkan Tri Tuntutan Rakyat (Tritura).
Rentetan demonstrasi yang terjadi menyuarakan Tritura akhirnya diikuti keluarnya Surat Perintah 11 Maret
1966 (Supersemar) oleh Presiden Soekarno yang memerintahkan kepada
Mayor Jenderal Soeharto selaku panglima Angkatan Darat untuk mengambil
tindakan yang perlu untuk memulihkan keamanan dan ketertiban
Akhir dari segala permasalahan terjadi pada sidang Istimewa MPRS. Pada tanggal 23 Februari 1967, Seokarno
secara resmi menyerahkan kekuasaan pemerintah kepada pengemban
Supersemar. Sehubungan dengan hal tersebut, maka pada sidang MPRS
tanggal 7-12 Maret 1967 memutuskan:
- Pidato pertanggungjawaban presiden didepan MPR berjudul Nawaksara berserta pelengkapnya tidak memenuhi harapan rakyat dikarenakan tidak secara jelas mengenai pemberontakan Gerakan 30 September.
- Presiden telah menyerahkan kekuasaaan kepada pengemban Supersemar
- Presiden telah melakukan kebijakan yang secara tidak langsung menguntungkan bagi Gerakan 30 September
Pada 12 Maret 1967, Seoharto akhirnya
diambil sumpah dan dilantik sebagai presiden Republik Indonesia yang
ke-2 berdesarkan ketetapan MPRS No. XXXIII/MPRS/1967.
Dengan begitu, berakhirlah pemebrintahan Orde Lama dan diganti dengan Orde Baru di bawah Presiden Soeharto.
No comments:
Post a Comment