1. Konflik dan Pergolakan yang Berkait dengan Ideologi.
a.
Pemberontakan PKI (Partai Komunis Indonesia) Madiun
Sejak merdeka sampai awal tahun 1948, PKI masih
bersikap mendukung pemerintah, yang kebetulan memang dikuasai oleh golongan
kiri. Namun ketika golongan kiri terlempar dari pemerintahan, PKI menjadi
partai oposisi dan bergabung dengan partai serta organisasi kiri lainnya dalam
Front Demokrasi Rakyat (FDR) yang didirikan Amir Syarifuddin pada bulan
Februari 1948. Pada awal September 1948 pimpinan PKI dipegang Muso. Berbagai
upaya dilakukan oleh PKI untuk meraih kekuasaan. Di bawah pimpinan Musso, PKI
berhasil menarik partai dan organisasi kiri dalam FDR bergabung ke dalam PKI.
Partai ini lalu mendorong dilakukannya berbagai demonstrasi dan pemogokan kaum
buruh dan petani. Sebagian kekuatan, kekuatan bersenjata juga berhasil masuk
dalam pengaruh mereka. Muso juga kerap mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang
mengecam pemerintah dan membahayakan strategi diplomasi Indonesia melawan
Belanda yang ditengahi Amerika Serikat (AS). Pernyataan Muso lebih menunjukkan
keberpihakannya pada Uni Sovyet yang komunis. Padahal saat itu AS dan Uni
Sovyet tengah mengalami Perang Dingin. Pemerintah Indonesia telah
melakukan upaya-upaya diplomasi dengan Muso, bahkan sampai
mengikutsertakan tokoh-tokoh kiri yang lain, yaitu Tan Malaka, untuk meredam
gerak ofensif PKI Muso.
Namun kondisi politik sudah terlampau panas, sehingga
pada pertengahan September 1948, pertempuran antara kekuatan-kekuatan
bersenjata yang memihak PKI dengan TNI mulai meletus. PKI dan kelompok
pendukungnya kemudian memusatkan diri di Madiun. Muso pun kemudian pada tanggal
18 September 1948 memproklamirkan Republik Soviet Indonesia. Di awal pemberontakan,
pembunuhan terhadap pejabat pemerintah dan para pemimpin partai yang anti
komunis terjadi. Kaum santri juga menjadi korban. Tetapi pasukan pemerintah
yang dipelopori Divisi Siliwangi kemudian berhasil mendesak mundur pemberontak.
Puncaknya adalah ketika Muso tewas tertembak. Amir Syarifuddin juga tertangkap.
Ia akhirnya dijatuhi hukuman mati. Tokoh-tokoh muda PKI seperti Aidit dan
Lukman berhasil melarikan diri. Merekalah yang kelak di tahun 1965, berhasil
menjadikan PKI kembali menjadi partai besar di Indonesia sebelum terjadinya
peristiwa Gerakan 30 September 1965. Ribuan orang tewas dan ditangkap
pemerintah akibat pemberontakan Madiun ini. PKI gagal mengambil alih kekuasaan.
b. Pemberontakan
DI/TII
Cikal bakal pemberontakan DI/TII yang meluas di
beberapa wilayah Indonesia bermula dari sebuah gerakan di Jawa Barat yang
dipimpin oleh S.M. Kartosuwiryo. Ia dulu adalah salah seorang tokoh Partai
Sarekat Islam Indonesia (PSII). Dampak perjannian Renville yang
menyebabkan Kartosuwiryo untuk mewujudkan keinginannya mendirikan negara Islam.
Salah satu keputusan Renville adalah harus pindahnya pasukan RI dari
daerahdaerah yang diklaim dan diduduki Belanda ke daerah yang dikuasai RI. Di
Jawa Barat, Divisi Siliwangi sebagai pasukan resmi RI pun dipindahkan ke Jawa
Tengah karena Jawa Barat dijadikan negara bagian Pasundan oleh Belanda. Akan
tetapi laskar bersenjata Hizbullah dan Sabilillah yang telah berada di bawah
pengaruh Kartosuwiryo tidak bersedia pindah dan malah membentuk Tentara Islam
Indonesia (TII).
Vakum (kosong)-nya kekuasaan RI di Jawa Barat segera
dimanfaatkan Kartosuwiryo. Meski awalnya ia memimpin perjuangan melawan Belanda
dalam rangka menunjang perjuangan RI, namun akhirnya perjuangan tersebut
beralih menjadi perjuangan untuk merealisasikan cita-citanya. Ia lalu
menyatakan pembentukan Darul Islam (negara Islam/DI) dengan dukungan TII, di
Jawa Barat pada Agustus 1948. Persoalan timbul ketika pasukan Siliwangi kembali
balik ke Jawa Barat. Kartosuwiryo tidak mau mengakui tentara RI tersebut
kecuali mereka mau bergabung dengan DI/TII. Ini sama saja Kartosuwiryo dengan
DI/TII nya tidak mau mengakui pemerintah RI di Jawa Barat. Maka pemerintahpun
bersikap tegas. Meski upaya menanggulangi DI/TII Jawa Barat pada awalnya
terlihat belum dilakukan secara terarah, namun sejak tahun 1959, pemerintah
mulai melakukan operasi militer.
Operasi terpadu “Pagar Betis” digelar, dimana tentara
pemerintah menyertakan juga masyarakat untuk mengepung tempat-tempat pasukan
DI/TII berada. Tujuan taktik ini adalah untuk mempersempit ruang gerak dan
memotong arus perbekalan pasukan lawan. Selain itu diadakan pula operasi tempur
dengan sasaran langsung basis-basis pasukan DI/TII. Melalui operasi ini pula
Kartosuwiryo berhasil ditangkap pada tahun 1962. Ia lalu dijatuhi hukuman mati,
yang menandai pula berakhirnya pemberontakan DI/TII Kartosuwiryo.
Di Jawa Tengah, awal kasusnya juga mirip, dimana
akibat persetujuan Renville daerah Pekalongan-Brebes-Tegal ditinggalkan TNI
(Tentara Nasional Indonesia) dan aparat pemerintahan. Terjadi kevakuman di
wilayah ini dan Amir Fatah beserta pasukan Hizbullah yang tidak mau di-TNI-kan
segera mengambil alih. Saat pasukan TNI kemudian balik kembali ke wilayah
tersebut setelah Belanda melakukan agresi militernya yang kedua, sebenarnya telah
terjadi kesepakatan antara Amir Fatah dan pasukannya dengan pasukan TNI. Amir
Fatah bahkan diangkat sebagai koordinator pasukan di daerah operasi Tegal dan
Brebes. Namun ketegangan karena berbagai persoalan antara pasukan Amir Fatah
dengan TNI sering timbul kembali. Amir Fatah pun semakin berubah pikiran
setelah utusan Kartosuwiryo datang menemuinya lalu mengangkatnya sebagai
Panglima TII Jawa Tengah. Ia bahkan kemudian ikut memproklamirkan berdirinya
Negara Islam di Jawa Tengah. Sejak itu terjadi kekacauan dan konflik
terbuka antara pasukan Amir Fatah
dengan pasukan TNI. Tetapi berbeda
dengan DI/TII di Jawa Barat, perlawanan Amir Fatah tidak terlalu lama.
Kurangnya dukungan dari penduduk membuat perlawanannya cepat berakhir. Desember
1951, ia menyerah.
Selain Amir Fatah, di Jawa Tengah juga timbul
pemberontakan lain yang dipimpin oleh Kiai Haji Machfudz atau yang dikenal
sebagai Kyai Sumolangu. Ia didukung oleh laskar bersenjata Angkatan Umat Islam
(AUI) yang sejak didirikan memang berkeinginan menciptakan suatu negara
Indonesia yang berdasarkan prinsip-prinsip Islam. Meski demikian, dalam
perjuangan untuk mempertahankan kemerdekaan, awalnya AUI bahu membahu dengan
Tentara Republik dalam menghadapi Belanda. Wilayah operasional AUI berada
daerah Kebumen dan daerah sekitar pantai selatan Jawa Tengah. Namun kerjasama
antara AUI dengan Tentara RI mulai pecah ketika pemerintah hendak melakukan
demobilisasi AUI. Ajakan pemerintah untuk berunding ditolak Kyai Sumolangu.
Pada akhir Juli 1950 Kyai Sumolangu melakukan pemberontakan. Sesudah sebulan
bertempur, tentara RI berhasil menumpas pemberontakan ini. Ratusan pemberontak
dinyatakan tewas dan sebagian besar berhasil ditawan. Sebagian lainnya
melarikan diri dan bergabung dengan pasukan TII di Brebes dan Tegal. Akibat
pemberontakan ini kehancuran yang diderita di Kebumen besar sekali. Ribuan
rakyat mengungsi dan ratusan orang ikut terbunuh. Selain itu desa-desa juga
mengalami kerusakan berat.
Selain di Jawa Barat dan Jawa Tengah, pemberontakan
DI/TII terjadi pula di Sulawesi Selatan di bawah pimpinan Letnan Kolonel Kahar
Muzakkar. Pada tahap awal, pemberontakan ini lebih disebabkan akibat
ketidakpuasan para bekas pejuang gerilya kemerdekaan terhadap kebijakan
pemerintah dalam membentuk Tentara Republik dan demobilisasi yang dilakukan di
Sulawesi Selatan. Namun beberapa tahun kemudian pemberontakan malah beralih
dengan bergabungnya mereka ke dalam DI/TII Kartosuwiryo. Tokoh Kahar Muzakkar
sendiri pada masa perang kemerdekaan pernah berjuang di Jawa bahkan menjadi
komandan Komando Grup Sulawesi Selatan yang bermarkas di Yogyakarta. Setelah
pengakuan kedaulatan tahun 1949 ia lalu ditugaskan ke daerah asalnya untuk
membantu menyelesaikan persoalan tentang Komando Gerilya Sulawesi Selatan
(KGSS) di sana. KGSS dibentuk sewaktu perang kemerdekaan dan berkekuatan 16
batalyon atau satu divisi.
Pemerintah ingin agar kesatuan ini dibubarkan lebih
dahulu untuk kemudian dilakukan re-organisasi tentara kembali. Semua itu dalam
rangka penataan ketentaraan. Namun anggota KGSS menolaknya. Begitu tiba, Kahar
Muzakkar diangkat oleh Panglima Tentara Indonesia Timur menjadi koordinator
KGSS, agar mudah menyelesaikan persoalan. Namun Kahar Muzakkar malah menuntut
kepada Panglimanya agar KGSS bukan dibubarkan, melainkan minta agar seluruh
anggota KGSS dijadikan tentara dengan nama Brigade Hasanuddin. Tuntutan ini
langsung ditolak karena pemerintah berkebijakan hanya akan menerima anggota
KGSS yang memenuhi syarat sebagai tentara dan lulus seleksi. Kahar Muzakkar
tidak menerima kebijakan ini dan memilih berontak diikuti oleh pasukan
pengikutnya. Selama masa pemberontakan, Kahar Muzakkar pada tanggal 7 Agustus
1953 menyatakan diri sebagai bagian dari Negara Islam Indonesia
Kartosuwiryo. Pemberontakan yang dilakukan Kahar memang memerlukan waktu
lama untuk menumpasnya. Pemberontakan baru berakhir pada tahun 1965. Di tahun
itu, Kahar Muzakkar tewas tertembak dalam suatu penyergapan.
Di Aceh, pecahnya pemberontakan adalah ketika pada
tahun 1950 pemerintah menetapkan wilayah Aceh sebagai bagian dari propinsi
Sumatera Utara. Para ulama Aceh yang tergabung dalam Persatuan Ulama Seluruh
Aceh (PUSA) menolak hal ini. Bagi mereka, pemerintah terlihat tidak menghargai
masyarakat Aceh yang telah berjuang membela republik. Mereka menuntut agar Aceh
memiliki otonomi sendiri dan mengancam akan bertindak bila tuntutan mereka tak
dipenuhi. Tokoh terdepan PUSA dalam hal ini adalah Daud Beureuh. Pemerintah
pusat kemudian berupaya menempuh jalan pertemuan. Wakil Presiden M. Hatta
(1950), Perdana Menteri M. Natsir (1951), bahkan Soekarno (1953) menyempatkan
diri ke Aceh untuk menyelesaikan persoalan ini, namun mengalami kegagalan.
Akhirnya pada tahun 1953, setelah Daud Beureuh melakukan kontak dengan
Kartosuwiryo, ia menyatakan Aceh sebagai bagian dari Negara Islam Indonesia
yang dipimpin Kartosuwiryo. Konflik antara pengikut Daud Beureuh dengan tentara
RI pun berkecamuk dan tak menentu selama beberapa tahun, sebelum akhirnya
pemerintah mengakomodasi dan menjadikan Aceh sebagai daerah istimewa pada tahun
1959. Tiga tahun setelah itu Daud Beureuh kembali dari pertempuran yang telah
selesai. Ia mendapat pengampunan.
c.
Gerakan 30 September 1965 (G30S/PKI)
Inilah peristiwa yang hingga kini masih menyimpan
kontroversi. Terdapat enam teori mengenai peristiwa kudeta G30S tahun 1965 yang
Teori yang dikemukakan antara lain oleh Nugroho Notosusanto dan Ismail
Saleh:
1.
Gerakan 30 September merupakan persoalan internal Angkatan Darat (AD).
Dikemukakan antara lain oleh Ben Anderson, W.F.Wertheim, dan Coen Hotsapel, teori
ini menyatakan bahwa G30S hanyalah peristiwa yang timbul akibat adanya
persoalan di kalangan AD sendiri. Hal ini misalnya didasarkan pada pernyataan
pemimpin Gerakan, yaitu Letnan Kolonel Untung yang menyatakan bahwa para
pemimpin AD hidup bermewahmewahan dan memperkaya diri sehingga mencemarkan nama
baik AD. Pendapat seperti ini sebenarnya berlawanan dengan kenyataan yang ada.
Jenderal Nasution misalnya, Panglima Angkatan Bersenjata ini justru hidupnya
sederhana.
2.
Dalang Gerakan 30 September adalah Dinas Intelijen Amerika Serikat
(CIA). Teori ini berasal antara lain dari tulisan Peter Dale Scott atau
Geoffrey Robinson. Menurut teori ini AS sangat khawatir Indonesia jatuh ke
tangan komunis. PKI pada masa itu memang tengah kuat-kuatnya menanamkan pengaruh
di Indonesia. Karena itu CIA kemudian bekerjasama dengan suatu kelompok dalam
tubuh AD untuk memprovokasi PKI agar melakukan gerakan kudeta. Setelah itu,
ganti PKI yang dihancurkan. Tujuan akhir skenario CIA ini adalah menjatuhkan
kekuasaan Soekarno.
3.
Gerakan 30 September merupakan pertemuan antara kepentingan Inggris-AS.
Menurut teori ini G30S adalah titik temu antara keinginan Inggris yang ingin
sikap konfrontatif Soekarno terhadap Malaysia bisa diakhiri melalui
penggulingan kekuasaan Soekarno, dengan keinginan AS agar Indonesia terbebas
dari komunisme. Dimasa itu, Soekarno memang tengah gencar melancarkan provokasi
menyerang Malaysia yang dikatakannya sebagai negara boneka Inggris. Teori
dikemukakan antara lain oleh Greg Poulgrain.
4.
Soekarno adalah dalang Gerakan 30 September. Teori yang dikemukakan
antara lain oleh Anthony Dake dan John Hughes ini beranjak dari asumsi bahwa
Soekarno berkeinginan melenyapkan kekuatan oposisi terhadap dirinya, yang
berasal dari sebagian perwira tinggi AD. Karena PKI dekat dengan Soekarno,
partai inipun terseret. Dasar teori ini antara lain berasal dari kesaksian Shri
Biju Patnaik, seorang pilot asal India yang menjadi sahabat banyak pejabat
Indonesia sejak masa revolusi. Ia mengatakan bahwa pada 30 September 1965
tengah malam Soekarno memintanya untuk meninggalkan Jakarta sebelum subuh.
Menurut Patnaik, Soekarno berkata “sesudah itu saya akan menutup lapangan
terbang”. Di sini Soekarno seakan tahu bahwa akan ada “peristiwa besar” esok
harinya. Namun teori ini dilemahkan antara lain dengan tindakan Soekarno yang
ternyata kemudian menolak mendukung G30S. Bahkan pada 6 Oktober 1965, dalam
sidang Kabinet Dwikora di Bogor, ia mengutuk gerakan ini.
5.
Tidak ada pemeran tunggal dan skenario besar dalam peristiwa Gerakan 30
September (teori chaos). Dikemukakan antara lain oleh John D. Legge, teori ini
menyatakan bahwa tidak ada dalang tunggal dan tidak ada skenario besar dalam
G30S. Kejadian ini hanya merupakan hasil dari perpaduan antara, seperti yang
disebut Soekarno : “unsur-unsur Nekolim (negara Barat), pimpinan PKI yang
keblinger serta oknum-oknum ABRI yang tidak benar”. Semuanya pecah dalam
improvisasi di lapangan.
6.
Dalang Gerakan 30 September adalah PKI Menurut teori ini tokoh-tokoh
PKI adalah penanggungjawab peristiwa kudeta, dengan cara memperalat unsur-unsur
tentara. Dasarnya adalah serangkaian kejadian dan aksi yang telah dilancarkan
PKI antara tahun 1959-1965. Dasar lainnya adalah bahwa setelah G30S, beberapa
perlawanan bersenjata yang dilakukan oleh kelompok yang menamakan diri CC PKI
sempat terjadi di Blitar Selatan, Grobogan, dan Klaten.
Suasana pertentangan antara PKI dengan AD dan golongan
lain non PKI pun telah sedemikian panasnya menjelang tanggal 30 September 1965.
Apalagi pada bulan Juli sebelumnya Soekarno tiba-tiba jatuh sakit. Tim
dokter Cina yang didatangkan DN Aidit untuk memeriksa Soekarno menyimpulkan
bahwa presiden RI tersebut kemungkinan akan meninggal atau lumpuh. Maka dalam
rapat Politbiro PKI tanggal 28 September 1965, pimpinan PKI pun memutuskan untuk
bergerak. Dipimpin Letnan Kolonel Untung, perwira yang dekat dengan PKI,
pasukan pemberontak melaksanakan “Gerakan 30 September” dengan menculik dan
membunuh para jenderal dan perwira di pagi buta tanggal 1 Oktober 1965. Jenazah
para korban lalu dimasukkan ke dalam sumur tua di daerah Lubang Buaya Jakarta.
Mereka adalah : Letnan Jenderal Ahmad Yani (Menteri/Panglima AD), Mayor
Jenderal S. Parman, Mayor Jenderal Soeprapto, Mayor Jenderal MT. Haryono,
Brigadir Jenderal DI Panjaitan, Brigadir Jenderal Sutoyo Siswomiharjo dan
Letnan Satu Pierre Andreas Tendean. Sedangkan Jenderal Abdul Haris Nasution
berhasil lolos dari upaya penculikan, namun putrinya Ade Irma Suryani menjadi
korban. Di Yogyakarta Gerakan 30 September juga melakukan penculikan dan
pembunuhan terhadap perwira AD yang anti PKI, yaitu : Kolonel Katamso dan
Letnan Kolonel Sugiono. Pada berita RRI pagi harinya, Letkol Untung lalu
menyatakan pembentukan “Dewan Revolusi”, sebuah pengumuman yang membingungkan
masyarakat.
Dalam situasi tak menentu itulah Panglima Komando
Strategis Angkatan Darat (Pangkostrad) Mayor Jenderal Soeharto segera
berkeputusan mengambil alih pimpinan Angkatan Darat, karena Jenderal Ahmad Yani
selaku Men/Pangad saat itu belum diketahui ada dimana. Setelah berhasil menghimpun
pasukan yang masih setia kepada Pancasila, operasi penumpasan Gerakan 30
September pun segera dilakukan. Bukan saja di Jakarta, melainkan hingga basis
mereka di daerah-daerah lainnya. Dalam perkembangan berikutnya, ketika
diketahui bahwa Gerakan September ini berhubungan dengan PKI, maka pengejaran
terhadap pimpinan dan pendukung PKI juga terjadi. Bukan saja oleh pasukan yang
setia pada Pancasila tetapi juga dibantu oleh masyarakat yang tidak senang
dengan sepak terjang PKI. G30S/PKI pun berhasil ditumpas, menandai pula
berakhirnya gerakan dari Partai Komunis Indonesia.
2. Konflik dan
Pergolakan yang Berkait dengan Kepentingan.
a.
Pemberontakan
APRA
Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) dibentuk oleh Kapten
Raymond Westerling pada tahun 1949. Ini adalah milisi bersenjata yang
anggotanya terutama berasal dari tentara Belanda: KNIL, yang tidak setuju
dengan pembentukan Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat (APRIS) di Jawa
Barat, yang saat itu masih berbentuk negara bagian Pasundan. Basis pasukan APRIS
di Jawa Barat adalah Divisi Siliwangi. APRA ingin agar keberadaan negara
Pasundan dipertahankan sekaligus menjadikan mereka sebagai tentara negara
federal di Jawa Barat. Karena itu, pada Januari 1950 Westerling mengultimatum
pemerintah RIS. Ultimatum ini segera dijawab Perdana Menteri Hatta dengan
memerintahkan penangkapan terhadap Westerling.
APRA malah bergerak menyerbu kota Bandung secara
mendadak dan melakukan tindakan teror. Puluhan anggota APRIS gugur. Diketahui
pula kemudian kalau APRA bermaksud menyerang Jakarta dan ingin membunuh antara
lain Menteri Pertahanan Sultan Hamengkubuwono IX dan Kepala APRIS Kolonel T.B.
Simatupang. Namun semua itu akhirnya dapat digagalkan oleh pemerintah.
Westerling kemudian melarikan diri ke Belanda.
b.
Peristiwa Andi
Aziz
Seperti halnya pemberontakan APRA di Bandung,
peristiwa Andi Aziz berawal dari tuntutan Kapten Andi Aziz dan pasukannya yang
berasal dari KNIL (pasukan Belanda di Indonesia) terhadap pemerintah Indonesia
agar hanya mereka yang dijadikan pasukan APRIS di Negara Indonesia Timur (NIT).
Ketika akhirnya tentara Indonesia benar-benar didatangkan ke Sulawesi Selatan
dengan tujuan memelihara keamanan, hal ini menyulut
ketidakpuasan di kalangan pasukan Andi Aziz. Ada
kekhawatiran dari kalangan tentara KNIL bahwa mereka akan diperlakukan secara
diskriminatif oleh pimpinan APRIS/TNI. Pasukan KNIL di bawah pimpinan Andi Aziz
ini kemudian bereaksi dengan menduduki beberapa tempat penting, bahkan menawan
Panglima Teritorium (wilayah) Indonesia Timur, Pemerintahpun bertindak
tegas dengan mengirimkan pasukan dibawah pimpinan Kolonel Alex
Kawilarang.
April 1950, pemerintah
memerintahkan Andi Aziz agar melapor ke Jakarta akibat peristiwa tersebut, dan
menarik pasukannya dari tempat-tempat yang telah diduduki, menyerahkan senjata
serta membebaskan tawanan yang telah mereka tangkap. Tenggat waktu melapor adalah
4 x 24 jam. Namun Andi Aziz ternyata terlambat melapor, sementara pasukannya
telah berontak. Andi Aziz pun segera ditangkap di Jakarta setibanya ia ke sana
dari Makasar. Ia juga kemudian mengakui bahwa aksi yang dilakukannya berawal
dari rasa tidak puas terhadap APRIS. Pasukannya yang memberontak akhirnya
berhasil ditumpas oleh tentara Indonesia di bawah pimpinan Kolonel Kawilarang.
c.
Pemberontakan
Republik Maluku Selatan (RMS)
Pemberontakan RMS dilakukan dengan tujuan memisahkan
diri dari Republik Indonesia dan menggantinya dengan negara sendiri.
Diproklamasikan oleh mantan Jaksa Agung Negara Indonesia Timur, Dr. Ch.R.S.
Soumokil pada April 1950, RMS didukung oleh mantan pasukan KNIL. Upaya
penyelesaian secara damai awalnya dilakukan oleh pemerintah Indonesia, yang
mengutus dr. Leimena untuk berunding. Namun upaya ini mengalami kegagalan.
Pemerintahpun langsung mengambil tindakan tegas, dengan melakukan operasi
militer di bawah pimpinan Kolonel Kawilarang.
Kelebihan pasukan KNIL RMS adalah mereka memiliki
kualifikasi sebagai pasukan komando. Konsentrasi kekuatan mereka berada di
pulau Ambon dengan medan perbentengan alam yang kokoh. Bekas benteng pertahanan
Jepang juga dimanfaatkan oleh pasukan RMS. Oleh karena medan yang berat ini,
selama peristiwa perebutan pulau Ambon oleh TNI, terjadi pertempuran frontal
dan dahsyat dengan saling bertahan dan menyerang. Meski kota Ambon sebagai
ibukota RMS berhasil direbut dan pemberontakan ini akhirnya ditumpas, namun TNI
kehilangan komandan Letnan Kolonel Slamet Riyadi dan Letnan Kolonel Soediarto
yang gugur tertembak. Soumokil sendiri awalnya berhasil melarikan diri ke pulau
Seram, namun ia akhirnya ditangkap tahun 1963 dan dijatuhi hukuman mati.
3. Konflik dan
Pergolakan yang Berkait dengan Sistem Pemerintahan.
a.
Pemberontakan PRRI dan Permesta
Munculnya pemberontakan PRRI dan Permesta bermula dari
adanya persoalan di dalam tubuh Angkatan Darat, berupa kekecewaan atas minimnya
kesejahteraan tentara di Sumatera dan Sulawesi. Hal ini mendorong beberapa
tokoh militer untuk menentang Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD). Persoalan
kemudian ternyata malah meluas pada tuntutan otonomi daerah. Ada ketidakadilan
yang dirasakan beberapa tokoh militer dan sipil di daerah terhadap pemerintah
pusat yang dianggap tidak adil dalam alokasi dana pembangunan. Kekecewaan
tersebut diwujudkan dengan pembentukan dewan-dewan daerah sebagai alat
perjuangan tuntutan pada Desember 1956 dan Februari 1957, seperti:
1)
Dewan Banteng di Sumatra Barat yang dipimpin oleh Letkol Ahmad
Husein.
2)
Dewan Gajah di Sumatra Utara yang dipimpin oleh Kolonel Maludin
Simbolan.
3)
Dewan Garuda di Sumatra Selatan yang dipimpin oleh Letkol
Barlian.
4)
Dewan Manguni di Sulawesi Utara yang dipimpin oleh Kolonel Ventje
Sumual.
Dewan-dewan ini bahkan kemudian mengambil alih
kekuasaan pemerintah daerah di wilayahnya masing-masing. Beberapa tokoh sipil
dari pusatpun mendukung mereka bahkan bergabung ke dalamnya, seperti Syafruddin
Prawiranegara, Burhanuddin Harahap dan Mohammad Natsir. KSAD Abdul Haris
Nasution dan PM Juanda sebenarnya berusaha mengatasi krisis ini dengan jalan
musyawarah, namun gagal. Ahmad Husein lalu mengultimatum pemerintah pusat,
menuntut agar Kabinet Djuanda mengundurkan diri dan menyerahkan mandatnya
kepada presiden. Tuntutan tersebut jelas ditolak pemerintah pusat. Krisis pun
akhirnya memuncak ketika pada tanggal 15 Februari 1958 Achmad Hussein
memproklamasikan berdirinya Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI)
di Padang, Sumatera Barat. Seluruh dewan perjuangan di Sumatera dianggap
mengikuti pemerintahan ini. Sebagai perdana menteri PRRI ditunjuk Mr.
Syafruddin Prawiranegara.
Bagi Syafruddin, pembentukan PRRI hanyalah sebuah upaya
untuk menyelamatkan negara Indonesia, dan bukan memisahkan diri. Apalagi PKI
saat itu mulai memiliki pengaruh di pusat. Tokoh-tokoh sipil yang ikut dalam
PRRI sebagian memang berasal dari partai Masyumi yang dikenal anti PKI. Berita
proklamasi PRRI ternyata disambut dengan antusias pula oleh para tokoh
masyarakat Manado, Sulawesi Utara. Kegagalan musyawarah dengan pemerintah,
menjadikan mereka mendukung PRRI, mendeklarasikan Permesta sekaligus memutuskan
hubungan dengan pemerintah pusat (kabinet Juanda). Pemerintah pusat tanpa
ragu-ragu langsung bertindak tegas. Operasi militer dilakukan untuk menindak
pemberontak yang diam-diam ternyata didukung Amerika Serikat. AS berkepentingan
dengan pemberontakan ini karena kekhawatiran mereka terhadap pemerintah pusat
Indonesia yang bisa saja semakin dipengaruhi komunis. Pada tahun itu juga
pemberontakan PRRI dan Permesta berhasil dipadamkan.
No comments:
Post a Comment