Kalau Pintar Jadi Guru, Bukan Dokter: Salah Asuh Pendidikan di Indonesia


Pernah mendengar istilah, "Ayo belajar yang rajin biar pinter, nanti jadi dokter"?
Ini adalah salah satu pangkal kesalahan pembangunan kesadaran pendidikan di Indonesia. Seyogyanya yang menjadi mentor untuk anak bisa pintar adalah guru yang pintar juga. Jika yang pintar menjadi dokter, terus yang akan menjadi guru adalah mereka yang tidak menjadi dokter? Alias kalah pinter dari dokter?

Di negara yang lebih maju pengelolaan pendidikannya seperti Finlandia, lebih susah untuk menjadi guru dibandingkan untuk menjadi seorang dokter atau ahli hukum. Itu karena mereka menyadari bahwa pendidikan yang berkualitas dibentuk dari kemampuan guru sebagai mentor di dalam proses pembelajaran. Bandingkan di Indonesia yang menjadi guru bisa mudah masuk ke lembaga pendidikan. Para guru yang minim kompetensi dapat menjadi pengajar yang hasilnya tentu anda bisa lihat sendiri, suasana kelas minim berfikir dan diskusi ilmiah. Kelas lebih banyak diisi dengan kegiatan yang sifatnya entertainment, seperti joged-joged yang diupload di media sosial. Coba sejenak anda observasi berapa banyak acara perpisahan sekolah yang lebih menonjolkan acara hiburan dibandingkan presentasi kompetensi para siswa. Pasti hasilnya lebih banyak entertainment di hari perpisahan.

Jika guru sebagai mentor kurang berkualitas, maka hasil atau output pembelajaran sudah dipastikan tidak berkualitas. Meskipun dilakukan pergantian kurikulum hingga ribuan kali jika kompetensi para guru tidak disaring dengan baik maka hasilnya akan tetap sama. Meskipun itu sudah di beri suplemen dengan sertifikasi guru, hanya akan berhenti di jumlah nominal tanpa peningkatan kualitas.

Sistem rekruitmen guru inilah pangkal kualitas pendidikan Indonesia. Apalagi huru hara honorarium yang meminta diangkat P3K tanpa tes kualifikasi yang memadai. Urusan P3K yang seharusnya dituntaskan dengan keilmiahan akademis melalu tes terstandar, tapi malahan diselesaikan secara politis dengan metode "optimalisasi". Sampai kapanpun jika hal seperti ini masih dilakukan, akan membuat pendidikan di Indonesia jalan di tempat.

Posting Komentar

0 Komentar