Ketika semua orang diberi panggung yang sama besar, suara yang paling keras sering kali mengalahkan suara yang paling bijak. Bukan kebenaran yang menang, tapi yang paling viral. Akibatnya, opini yang dangkal, penuh prasangka, atau bahkan kebohongan bisa menyebar lebih cepat daripada analisis yang mendalam dan bertanggung jawab. Popularitas menggantikan kompetensi sebagai ukuran kebenaran.
Masalahnya bukan karena semua orang bisa bicara—itu adalah hak asasi. Masalahnya muncul ketika masyarakat kehilangan kemampuan untuk membedakan mana yang layak didengar. Tanpa budaya literasi dan berpikir kritis, media sosial justru menjadi tempat di mana emosi mentah, kesimpulan instan, dan kebisingan kolektif menjadi norma. Dalam dunia seperti ini, panggung tak lagi menuntut isi, hanya sensasi.
0 Komentar